Liesnaeka's Blog

Pamella Swalayan, Tak Mau Menjual Rokok

Posted on: Juni 22, 2009

Siang itu begitu terik, ketika kuntum bersilaturahmi ke Pamella satu. Setelah memarkirkan motor di area parkir yang begitu luas. Tanpa rasa malu Kuntum mengeluarkan kameranya untuk memotret objek-objek yang ada didalam swalayan. Sampai-sampai Kuntum ditegur oleh pak satpam.

Ibu Noor Liesnaeni Pamella, itulah seorang tokoh wanita yang kini Kuntum profilkan. Walau beliau tidak tamat SMA, tapi beliau bersama sang suami kini memiliki tujuh swalayan Pamella, satu SPBU dan memiliki lima ratusan karyawan.

Menurut pengakuan beliau, perjalanan hidupnya memang dimulai sejak nol. Beliau dilahirkan dari keluarga pengusaha, Istri Sunardi Syahuri ini memiliki bakat sebagai enterpreneur secara turun temurun.”Ketika kelas 5 SD, saya sudah bisa membuat mainan dari kertas, dulu saya beli satu mainan dari sekaten, lalu saya tiru seperti aslinya, eh, ternyata bisa.Lalu saya gantungkan mainan itu di stand simbah saya waktu Muktamar Muhammadiyah, eh ternyata para pengunjung suka dan membeli mainan buatan saya,” tutur beliau.

Jiwa wirausaha beliau terus dan menerus diasah, ketika SMP beliau membantu ibunya berjualan dan ketika SMA beliau sudah ikut kulakan dagangan. Karena tiap pulang sekolah kulakan dan malamnya menghitung uang dagangan, beliau sampai tidak sempat mengerjakan PR (pekerjaan rumah). Mau tidak mau beliau setiap hari dihukum oleh guru sampai beliau terkena penyakit ulu hati.

Karena terlalu sering dihukum, Ibu yang dulunya dipanggil Nani ini ini trauma. Setelah kelas 3 SMA, Nani sering menyendiri, insomnia (sulit tidur), dan pernah secara tidak sadar sedang bersepeda. Nani baru sadar ketika sudah berada di Jalan Sudirman sekitar Tugu. Padahal waktu itu sudah lepas waktu magrib menjelang isya’. Akhirnya beliau diajak Ibunya ke psikiater. Kata dokter Nani memiliki penyakit psikotomatis, yaitu penyakit takut kepada guru. “Sebenarnya saya hanya takut saat tidak mengerjakan PR dan bertemu guru-guru tertentu, tapi kalau untuk ulangan lancar. Kata dokter, saya harus memilih sekolah atau kerja dan pilihan saya jatuh ke milih kerja,” tutur beliau.

Setelah menikah dengan Bapak Sunardi pada tahun 1975, mereka berdua memulai bisnis bersama. Mereka membuat warung kecil ukuran 5×5 m. Sekalipun kecil, keberadaannya sangat berarti untuk kehidupan pasangan muda ini. Dengan ikhlas mereka bergantian menjaga warung mulai pukul 06.00 sampai 21.00. Mereka tiap harinya menyediakan kaleng bekas untuk tempat uang di sisi depan toko. Dengan tujuan untuk menabung lima puluh rupiah tiap harinya untuk qurban, “alhamdulillah setelah satu tahun, kami bisa berkurban” tuturnya kepada Kuntum. Tahun berikutnya mereka berniat naik haji dengan selalu menyisihkan lima ratus rupiah tiap harinya. “Dulu pemerintah masih menetapkan biaya pergi haji sebesar Rp 800.000,00. Dengan ONH Ongkos Naik Haji) sebesar itu, saya memperkirakan setelah menabung beberapa lama, kami akan sama-sama bisa naik haji. Namun tahun 1979, pemerintahkan pengumuman devaluasi mata uang rupiah. Saat itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diturunkan beberapa kali lipat. ONH yang ditetapkan pun melonjak dua kali lipat. Untungnya, tabungan haji yang saya kumpulkan saya simpan dalam bentuk emas perhiasan, karena terjadi inflasi, maka harga emas pun melonjak beberapa lipat. Bahkan ketika emas perhiasan itu dijual, uang yang saya peroleh jauh lebih besar dari yang saya perkirakan. Dengan uang itu pula kami juga mengajak ibu untuk bersama-sama pergi  haji, pada tahun 1979” ungkap ibu lima anak ini dengan penuh semangat

Suami istri ini terbilang cerdik, mereka selalu memanfaatkan pasar dalam  berdagang. Ketika musim liburan, mereka menjual mainan seperti kelereng dan layangan, tapi ketika musim kenaikan sekolah, mereka menjual buku maupun seragam sekolah.

Dengan modal semangat dan ketekunan, warung Pamella yang terletak di jalan Kusumanegara sedikit demi sedikit berkembang. Awalnya omset penjualan hanya sekitar 3000 per hari, seiring dengan makin banyaknya barang yang dijual omset berkembang menjadi 20.000 per hari, dan akhirnya terus dan menerus naik. Saat ditanya omset pada waktu sekarang ini, beliau hanya tersenyum dan berkata, “Wah rahasia perusahaan mas.”

Akhirnya pada tahun 1984, seluruh bangunan warung direhab hingga menjadi bangunan dua lantai. Seiring dengan peningkatan omset penjualan, akhirnya dibukalah berbagai cabang toko Pamella, yang mana setiap pembeli dilayani oleh pramuniaga.

Dalam setiap pembuatan cabang-cabang toko Pamella, Pak Sunardi dan Ibu Pamella selalu membuat survei kecil-kecilan. Mereka mendata jumlah penduduk di calon lokasi toko, kondisi sosial ekonominya dan mendata jumlah kendaraan yang lalu lalang di jalan depan lokasi calon toko. Dalam survey tersebut mereka juga berdiri dipinggir jalan dan menghitung jumlah kendaraan yang lalu lalang di depan lokasi calon toko, dengan survei itulah bisa diputuskan kelayakan pendirian toko.

Ada yang unik di toko ini, pada tahun 1993 Pamella sudah tidak lagi menjual rokok. Banyaknya iklan yang mengkampanyekan anti merokok dan desakan anak beliau akhirnya Pamella tidak menjual rokok lagi. Awalnya pamella sempat takut omset penjualannya menurun, tapi ternyata target yang penjualan toko tidak mengalami penurunan.

Semenjak Ibu Pamella mengikuti pelatihan di Departemen koperasi DIY pada tahun 1995, konsep toko diubah menjadi swalayan, jadi pembeli dapat memilih sendiri apa yang diinginkannya. Pamellapun berusaha memberikan layanan terbaik untuk pelanggan. Beliau memiliki prinsip,”Pelanggan tidak boleh menerima uang kembalian yang buruk,” tutur beliau.

Pada akhir wawancara, Ibu Pamella berpesan bagi kita, yang ingin menekuni dunia dagang, “Banyak belajar dari para pebisnis, karena bisnis harus punya pengalaman dan harus seimbang dunia dan akhiratnya,”. Ingin menjadi seperti bu pamella? Mari mencoba !

Tinggalkan komentar


  • Tidak ada
  • Mr WordPress: Hi, this is a comment.To delete a comment, just log in, and view the posts' comments, there you will have the option to edit or delete them.

Kategori

Arsip